Life Only Once. Stop Thinking and Just Make It Work

1.27.2016

BROMO 25 Maret 2014: Tersesat di Kegelapan Lautan Pasir Tengger


Bromo, salah satu gunung api paling aktif di Jawa Timur dengan ketinggian 2.329 meter akan menjadi tujuan saya selanjutnya. Dari Air Terjun Madakaripura, saya memacu motor Supra Fit kesayangan ke arah selatan menuju Desa Cemoro Lawang. Jalan yang harus kami lalui cukup terjal, berupa jalanan khas pegunungan yang meliuk-liuk tajam. Dibandingkan dengan jalan ke Tawangmangu atau Kaliadem, jalan menuju Cemoro Lawang yang merupakan titik terakhir sebelum Lautan Pasir Tengger lebih curam dan banyak kelokan.

Kami – saya dan Arin – menghabiskan malam di sebuah penginapan sederhana di Desa Cemoro Lawang bertarif Rp 150.000/malam/kamar. Desa Cemoro Lawang merupakan titik terakhir yang bisa digunakan para wisatawan untuk bermalam sebelum menyaksikan sunrise di Puncak Penanjakan keesokan subuhnya. Di Desa Cemoro Lawang juga inilah para pemburu sunrise bisa memesan/melakukan booking jeep yang bisa mereka gunakan untuk menjelajah Lautan Pasir Tengger esok pagi. Bagi kami yang ingin berhemat, cukup dengan sepeda motor Supra Fit. Saya yakin sepeda motor ini bisa berjalan di Lautan Pasir Tengger.

Udara sore maupun malam di Cemoro Lawang pada bulan Maret benar-benar dingin sampai menggigit tulang. Selepas meletakkan barang-barang dan membersihkan diri, dengan balutan selimut tebal saya sempatkan keluar dan duduk di balkon tingkat dua untuk menikmati pemandangan. Muka saya langsung beku begitu duduk di luar, tapi entah kenapa saya tidak ingin masuk. Sembari menarik nafas dalam-dalam, saya mulai berpikir alangkah hebatnya orang-orang disini yang bisa menahan dingin seperti ini setiap hari.

Sembari duduk menikmati pemandangan, sayup-sayup saya mendengar alunan Bahasa Sansekerta yang melantun dengan merdu dari sebuah pengeras suara nun jauh disana. Saya sempat mengira suara tersebut adalah suara pengajian dari masjid. Setelah saya telaah sesaat, saya tahu bahasa tersebut bukan Bahasa Arab yang biasa digunakan saat pengajian atau shalat, melainkan Bahasa Sansekerta. Segera saya sadar, bahwa di Kawasan Pegunungan Bromo-Tengger-Semeru ini berdiam Suku Tengger, salah satu suku yang diyakini merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit dan memeluk Agama Hindu sebagai kepercayaan utama mereka. Saya memberi hormat dalam hati, menikmati setiap lantunan Bahasa Sansekerta yang menyusup sampai ke relung hati.

Malam harinya, kami sempat keluar untuk makan malam dan mencari bensin untuk persiapan menuju Puncak Penanjakan esok pagi. Saya juga sempat membeli sarung tangan karena lupa membawa. Kami tidur awal untuk menjaga stamina karena esok harus bangun subuh-subuh.

Jam 3 pagi, saya sudah terbangun. Setelah membersihkan diri, saya segera bersiap menggunakan pakaian setebal mungkin untuk berangkat ke Puncak Penanjakan. Badan saya tak bisa berhenti menggigil karena tusukan udara dingin yang begitu menggigit. Setelah Dataran Tinggi Dieng, saya rasa di Kawasan Tengger inilah saya merasakan dingin yang begitu menggigit. Setiap tarikan nafas membuat bagian ujung hidung saya linu dan mengeras, setiap bersentuhan dengan air serasa tertusuk ratusan jarum. Namun saya berusaha mengalahkan semua itu dan menetapkan satu tujuan, Puncak Penanjakan.

Langit masih gelap gulita ketika saya dan Arin memacu motor menuju Lautan Pasir Kaldera Tengger. Tidak ada yang bisa kami lihat selain pasir yang tersorot oleh lampu depan motor. Jeep-jeep yang sudah dipesan (kebanyakan oleh turis mancanegara) terlihat sudah bersiap-siap berangkat. Awalnya, saya tidak merasa takut. Karena saya yakin, saya bisa jalan beriringan dengan jeep. Saya yakin, jalan pasir yang biasa dilalui jeep akan menjadi keras dan bisa dilalui motor saya. Ternyata, saya salah total.

Belum 500 meter kami berjalan, kami sudah tak tau arah! Semuanya hitam, gelap dan seakan tak berujung. Kami tidak menjumpai jeep seperti yang kami harapkan. Justru kegelapan tak berujung yang entah kemana. Oh sial, Kami telah tersesat!

Saya berhenti sesaat dan berdiskusi dengan Arin, apakah ini benar jalan ke Puncak Penanjakan. Kalau iya, kenapa tidak ada satupun jeep yang kami jumpai dari tadi. Kenapa lampu jeep yang berwarna kuning pucat malah terlihat di kejauhan sana? Ketakutan mulai menjalar ke tubuh saya. Kami ini kemana??

Di tengah ketakutan dan kebingungan, saya mendengar sayup-sayup suara bapak-bapak yang memanggil kami. Saya semakin takut, jika dia adalah kriminal, saya sudah pasrah. Saya hanya berharap, niat baik kami kesini bisa dipahami oleh Lautan Pasir Tengger dengan tidak membiarkan hal buruk terjadi pada kami.

“Mbak...mbak....mau kemana?”

“Mau ke Puncak Penanjakan, Pak.”

“Wah, kalian salah jalan. Ini jalan ke arah Tumpang (ke arah Malang). Kalau jalan ke Puncak Penanjakan lewat sana. Mari saya antar.”

Awalnya kami sempat menolak menggunakan pemandu karena akan menambah beban biaya dan mengurangi sense of adventure. Tetapi prinsip seperti itu terkadang tidak bisa diaplikasikan di lapangan, di lautan pasir luas seperti ini, di kegelapan total seperti ini. Setelah berunding tarif singkat, kami sepakat untuk memberi bapak itu Rp 50.000 untuk mengantarkan kami sampai ke Puncak Penanjakan. Saya tetap berboncengan dengan Arin, sementara Bapak itu berjalan di depan kami, menunjukkan jalan yang benar.

Anggapan saya bahwa jalan bekas jeep itu keras dan bisa dilalui dengan mudah oleh motor ternyata salah juga. Jalur tersebut tetaplah berupa pasir lunak yang menenggelamkan ban motorku setiap saat. Jeep-jeep melesat dengan leluasa di samping kami, seperti menertawakan motorku yang tersengal-sengal melawan gundukan pasir. Saya menertawakan pikiran saya yang pada awalnya sempat ingin berjalan beriringan dengan jeep untuk menuju Puncak penanjakan. Jeep yang berjalan setengah jam setelah kami saja melesat mendahului kami dengan leluasa, bagaimana mau berjalan beriringan? Yang ada kami disundul jeep, bukan mengiringi jeep.

Gundukan pasir semakin tinggi, kemudian setelahnya turunan yang cukup tajam. Bisa ditebak, saya dan Arin terjatuh. Untung saja motor tidak menimpa kami. Bapak pemandu jalan yang tahu segera menyarankan supaya Arin membonceng dia saja. Saya menyarankan hal serupa, sehingga akhirnya Arin berboncengan motor dengan pemandu, saya sendirian.

Kebiasaan menjadi pemandu rupanya membuat Bapak itu melaju dengan leluasa di gundukan pasir Kaldera Tengger. Saya semakin jauh tertinggal di belakang karena masih jalan dengan motor tersengal-sengal. Kekuatiran saya semakin menjadi ketika saya mulai kehilangan jejak bapak pemandu dan Arin. Tapi saya berusaha sabar dan kuat, saya tetap mengegas motor dengan tangan yang sudah sekaku mayat. Saya sudah tidak bisa merasakan tangan saya lagi. Rasanya begitu sakit ketika digunakan untuk mengegas motor.

Setengah jam bergumul dengan jalan gundukan pasir, kami akhirnya menjumpai jalan aspal yang mengarah keatas. Saya lega sekali ketika menjumpai jalan ini, karena tidak harus berjuang dengan gundukan pasir lagi. Jalan aspal ini merupakan jalan utama untuk menuju Puncak Penanjakan. Kami harus melalui sekitar 2 kilometer ke atas untuk sampai ke tempat parkir Puncak Penanjakan.

Sampai di tempat parkir, kami masih harus jalan kaki sekitar 10 menit untuk sampai ke Puncak Penanjakan. Karena tangan saya yang semakin kram dan tidak terasa, saya mampir warung kopi untuk menyeruput secangkir coklat panas dan memanaskan tangan. Tangan saya langsung kesemutan begitu panas dari anglo menjalar. Ahh, begitu nikmat arti sebuah udara panas disini. Betapa saya sering mengomel udara terlalu panas ketika sedang di rumah.

Selesai menghangatkan diri, kami melanjutkan perjalanan keatas. Banyak sekali wisatawan lokal maupun mancanegara yang mengunjungi Puncak Penanjakan, bahkan menurut pengamatan saya turis mancanegara lebih mendominasi. Kami sampai diatas pukul 4.00 dan segera mencari tempat terbaik di antara ratusan orang untuk menyaksikan sunrise. 


Menunggu matahari terbit di tengah udara dingin Puncak Penanjakan sepertinya memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Saya terus menggigil sembari meremas-remas tangan. Langit masih gelap gulita, dengan lukisan Perbukitan Tengger yang gagah menjulang. Saya terus menunggu pertunjukan alam yang sebentar lagi akan tersaji di depan mata saya. Sunrise.

Perlahan demi perlahan, semburat jingga kekuningan mulai muncul di belakang perbukitan. Semburat ini semakin lama semakin terang dan membesar, seakan mengungkap keagungan ciptaan Tuhan selembar demi selembar. Para turis mancanegara maupun lokal mulai sibuk mengarahkan kamera masing-masing. Semua yang hadir seakan tidak mau terlewatkan momen sedikitpun saat sang raja tata surya mulai naik ke peraduan.

Dipadu dengan semburan angin dingin pegunungan, perlahan demi perlahan matahari mulai terlihat. Sinar yang dipancarkan sangat indah, mengusir semua kegelapan dan kekosongan yang ada di depannya. Semuanya takjub, kagum dan tak bisa melepas mata. Ini sangat indah!